Tahun II Edisi Mei 2009

SEKULARISASI PENDIDIKAN

Dalam diskursus sosiologi, terdapat adagium terkenalyang menyatakan, bahwa makin maju (baca: modern)suatu masyarakat atau komunal, maka komitmen merekakepada agama akan semakin menurun. Oleh karena itu dipercaya bahwa modernisasi bakal menghalau agama dari ruang dan institusi publik, menurunkan arti dan vitalitasnya bagi kehidupan masyarakat, serta menggantinya dengan “tuhan-tuhan” baru. Sehingga dalam proses menuju kemodernan atau modernisasi tersebut, sekularisasi konon menjadi sebuah keniscayaan.

APAKAH SEKULERISME ITU?

Sekulerisme tiada lain adalah sebuah gerakan yang mempropagandakan tentang tidak adanya campur tangan dan keterkaitan hubungan antara kehidupan duniawi dengan agama.

Sekulerisme juga merupakan geraka sosial yang bertujuan mengalihkan se-penuhnya perhatian manusia dari hal-hal yang bersifat ukhrawi kepada hal-hal yang bersifat duniawi.

Ini berarti bahwa dalam aspek politik, pemerintahan dan kehidupan bernegara, semuanya harus dijauhkan dan dipisahkan dari agama, alias harus dilakukan sekularisasi kehidupan.

Atau dengan ungkapan lain, dalam sekularisme agama harus dijauhkan dari kesadaran sosial, adat astiadat, tradisi, etika, sastra, aliran pemikiran dan undang-undang. Kecuali jika unsur-unsur agama tersebut masuk karena pengaruh sejarah atau tradisi. Atau hanya menjadi unsur-unsur sekundera, seperti hanya menjadi faktor kejiwaan atau institusi yang tidak berpengaruh dalam beberapa persoalan duniawi tertentu.

BAGAIMANA SEKULERISME LAHIR?

Ahli sejarah umumnya sepakat bahwa Eropa Barat telah mengalami sekularisasi sejak 250 tahun terakhir.

Satu pendapat menyatakan bahwa sekularisasi bermula dari pergolakan pikiran dan pertarungan gagasan, seperti tercermin dalam kasus Copernicus, Galileo, Darwin dan para saintis lain yang menentang doktrin Gereja. Begitu juga di bidang teologi, muncul tokoh-tokoh seperti Eichhorn dan Strauss yang menerapkan berbagai metode historis-kritis dalam kajian Bibel.

Lainnya menjelaskan sekularisasi dalam kerangka modernisasi, seperti per-ubahan masyarakat dari agraris ke industri, dari kehidupan pedesaan menjadi perkotaan, dari kebiadaban menjadi peradaban, dan seterusnya.

Ada juga yang berpendapat bahwa sekularisasi bukanlah bagian atau buah dari modernisasi. Sekularisasi hanyalah satu dari sekian banyak gejala sosial seperti budaya pop, idealisme politik dan sebagainya, yang bersaing satu sama lain dan berebut pengaruh sebagai agen perubahan sosial.

Sekularisasi di Barat, seperti diakui oleh banyak ahli, sebenarnya, bertolak dari ajaran Kristen sendiri. Dalam Injil Matius XXII: 21 tercatat ucapan Yesus: “Urusan Kaisar serahkan saja kepada Kaisar dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.”

Sebagai implikasinya, agama tidak perlu ikut campur dalam urusan politik. Dari sinilah kemudian muncul dikotomi antara regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan Raja dan otoritas Gereja, antara negara dan agama.

Faktor lain yang mendorong sekularisasi di barat adalah gerakan Reformasi Protestan sejak awal abad ke-16, sebuah reaksi terhadap maraknya korupsi di kalangan Gereja yang dikatakan telah memanipulasi dan memolitisasi agama untuk kepentingan pribadi. Maka tidaklah berlebihan jika disimpulkan bahwa sekularisasi di barat adalah proses yang wajar dan niscaya bagi masyarakatnya.

SEKULERISME MERASUKI DUNIA ISLAM

Di dunia Islam, sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah menjadi paradigma, ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan digarap secara sisitematis lagi terencana.

Sekularisasi dalam dunia Islam dianggap sebagai prasyarat transformasi masya-rakat dari tradisional menjadi modern. Akan tetapi untuk mengurangi resistensi atau daya tolak dari kaum muslimin, digunakanlah istilah lain yang lebih halus dan mengelabui seperti modernisasi pembangunan, demokratisasi, liberalisasi, westernisasi dan lainnya.

Sekularisasi di dunia Islam terjadi pasca kolonialisasi dunia Islam oleh bangsa-bangsa Eropa. Contohnya di India. Pemerintahan kolonial Inggris di India secara bertahap mecabut undang-undang (syariat) Islam dan menggantikannya dengan hukum mereka, sehingga mulai tahun 1870 M, penerapan hukum Islam di India hanya terbatas pada urusan-urusan pribadi, seperti perkawinan dan warisan.

Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Islam lainnya. Proses westernisasi ini disokong oleh sejumlah pemikir liberal pada masa itu, seperti Sir Sayyid Ahmad Khan, Nawwab Abdul Lathif, Musthafa Khan, dan Khuda Ahmad Khan.

Kaum Kristen Arab yang hidup berdampingan dengan kaum muslimin, ternyata memiliki peranan dan pengaruh yang sangat berbahaya dalam mentransfer pikiran sekuler dan memasarkannya ke seluruh negeri kaum muslimin. Mereka aktif sekali menyebarluaskannya melalui berbagai media yang ada.

Di samping itu, gelombang pengiriman pelajar muslim yang kurang memahami hakikat agamanya untuk belajar berbagai ilmu modern di Barat, merupakan pangsa kerja tersendiri dalam mentransfer pikiran sekular ke negeri asalnya. Para pelajar yang melihat gemerlapnya kemajuan ilmu dan teknologi di negeri Barat, kembali ke negerinya bukan saja menyerap ilmu, tetapi juga membawa pulang adat istiadat, tradisi, cara hidup kemasyarakatan, politik dan perekenomian mereka, tanpa filter dan proses adapsi, hanya murni mengadopsi.

Para pelajar itu secara otomatis menjadi agen sukarela kebudayaan dan pe-mikiran barat, dan pada waktu yang bersamaan masyarakat menerima baik semua yang mereka bawa. Mereka mengira bahwa semua yang dibawa dari barat itu adalah ilmu yang bermanfaat dan sudah teruji kebenarannya. Bukan hanya adat istiadat, tradisi dan berbagai aturan yang dijejalkan, anak-anak terbaik mereka sesudah pulang kembali ke tanah airnya berusaha keras utuk menerapkan adat istiadat, tradisi dan peraturan orang barat di negerinya sendiri.

SEKULARISASI DI INDONESIA

Adapun di Indonesia, sekularisasi sebenarnya telah berjalan sejak zaman Belanda. Pemerintah kolonial melarang keras ekspresi keagamaan, khususnya Islam, yang bagi banyak rakyat nusantara bukan semata-mata agama, melainkan ideologi gerakan, bahkan napas kehidupan.

Sesuai petunjuk Snouck Hurgronje, Belanda mendukung pengembangan Islam di bidang ritual keagamaan, tetapi mencegahnya untuk berperan dalam bidang politik. Inilah yang dinamakan “politik Islam masjid”. Selain itu, untuk mengimbangi peran pesantren dan melanggengkan kekuasan kolonial, dibuatlah sekolah-sekolah sekuler untuk pribumi dengan tujuan mencetak warga yang bukan hanya siap mengisi birokrasi, tapi juga kooperatif dan loyal. Hasil sekularisasi ini tercermin cukup jelas dalam perdebatan menjelang kemerdekaan seputar dasar falsafah negara yang akan dibentuk.

Dalam sidangnya, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang terdiri dari 62 tokoh itu sempat terpecah dalam dua kubu: sebanyak 45 suara menghendaki bentuk negara pesatuan berdasarkan kebangsaan, se-mentara sisanya (15 suara) menginginkan Islam sebagai dasar negara. Tarik-me-narik  antar dua kubu ini (nasionalis-sukuler versus nasionalis Islamis) kembali terjadi dalam sidang konstituante, sebuah lembaga pembuat UUD baru sebagai pengganti UUD 1945, menyusul Pemilu Pertama pada tahun 1955. Para wakil partai-partai Islam bersikukuh mempertahankan Pancasila sebagaimana dirumus-kan dalam Piagam Jakarta (rancangan preambule UUD hasil rapat Panitia Sem-bilan yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 22 juni 1945), di mana ter-dapat kalimat tambahan berbunyi, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Klimaksnya terjadi pada tahun 1960, Masyumi di-larang dan dibubarkan.

Usaha menciutkan peran agama Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara terus berlangsung selama zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Pada awalnya pemerintah Orde Baru mengizinkan didirikannya Parmusi (1968). Namun, melihat kuatnya pengaruh mantan tokoh-tokoh Masyumi di dalamnya, Pemerintah segera campur tangan. Pada 1969 Ali Murtopo melalui Opsus-nya berhasil meng-geser Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun dari jabatan ketua partai dan “memasang” Jaelani Naro dan Imran Kadir sebagi gantinya. Setahun kemudian M.S. Mintaredja diangkat menjadi ketua Parmusi lewat keputusan Presiden (Suharto) No.77/1970. Pada tahun yang sama ketua HMI waktu itu, Nurcholish Madjid, menyerukan sekularisasi dengan slogan “Islam yes, Partai Islam No!” serta melontarkan gagasan Islam kultural seraya menolak cita-cita Islam politik. Setelah itu, Muhammadiyah dan HMI menarik diri dari Parmusi. Rezim kemudian mengangkat A. Mukti Ali sebagai menteri Agama (1971-1978), yang mulai meng-gagas reorientasi pendidikan agama.

Lalu diterapkan kebijakan “masa mengambang” (floating mass), di mana kegiatan-kegiatan yang bersifat politik “ditertibkan” dan “dibina”, dan pada tahun 1973 Pemerintah mendirikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang me-rupakan gabungan dari beberapa partai Islam (NU, Perti, Parmusi, dan PSSI). Pada tahun ini pula Harun Nasution ditunjuk menjadi rektor IAIN Syarif Hida-yatullah Jakarta, menandai bermulanya reorientasi, reformasi dan penyemaian bibit pemikiran liberal ala Mu’tazilah. Hasil Pemilu 1977 sempat membuat rezim waktu itu khawatir. Pasalnya perolehan suara Golkar merosot hingga 0.7 persen berbanding suara  untuk PPP yang naik 2.18 persen. Untuk menyudutkan Umat Islam, ditiuplah isu “Komando Jihad” dan “ekstrem kanan” oleh Pangkopkamtib Soedomo yang kemudian disusul dengan Operasi Sapu Jagat

SEKULARISASI PENDIDIKAN

Sekularisasi pun pada akhirnya menjangkau dan memasuki ranah pendidikan. Sekularisasi pendididikan bertujuan untuk menjadikan pendidikan dan pengajaran sebagai sarana menyebarkan pemikiran sekuler, dengan cara-cara antara lain:

  1. Menghembus-hembuskan pemikiran sekuler dalam mata pelajaran yang diberikan kepada anak-anak didik dalam berbagai tingkatannya.
  2. Berusaha keras mengulur-ulur mata pelajaran agama pada saat-saat yang tidak menguntungkan bagi anak-anak didik.
  3. Tabu mengajarkan beberapa nash atau dalil tertentu, karena dipandang meng-ungkapkan kebatilan mereka secara nyata.
  4. Merubah nash-nash syar’i melalui komentar dan penafsiran yang dimanipulasi dan dikebiri sehingga nampak seakan-akan mendukung pikiran sekuler atau setidak-setidaknya tidak bertentangan.
  5. Mencegah pengaruh para guru yang konsisten dan taat pada ajaran agama agar tidak menjadi anutan para siswa, dengan cara mempercepat proses pensiun sang guru atau menggesernya ke bagian administrasi dan ketatausahaan.
  6. Menjadikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran penunjang saja yang senantiasa ditempatkan pada bagian akhir waktu di saat para siswa sudah letih jasmani dan rohaninya serta sudah diliputi perasaan ingin cepat pulang.

SEKULARISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Mulai 1978, Menteri Pendidikan Daud Yusuf memberlakukan kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus), melarang semua kegiatan berbau politik dan agama di dalam kampus, mencabut liburan sekolah di bulan Ramadhan dan menolak penambahan muatan pendidikan agama (Islam) di sekolah-sekolah serta perguruan tinggi negeri.

Pada periode yang sama (1979-1983) Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawira-negara mengimbau semua pemeluk agama agar menerima Pancasila dan P4, mendukung program pembangunan yang digarap pemerintah, dan memelihara “tri-kerukunan” (kerukunan inter-umat beragama, antar-umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah).

Pada 1981 semua pegawai negeri yang tergabung dalam Korpri diwajibkan memilih Golkar dalam Pemilu. Program AMD (ABRI Masuk Desa) lalu dibuat untuk mengawasi dan membekukan unsur-unsur anti-Pancasila di masyarakat.

Tiga peristiwa penting terjadi pada tahun 1984, yaitu kembalinya NU ke Khittah 1926, pengangkatan J. Naro sebagai ketua PPP, dan kerusuhan berdarah di Tanjung Priok, Jakarta. Setahun berikutnya pemerintah menukar lambang PPP (gambar) Ka’bah dengan gambar bintang.

Di sektor pendidikan, strategi Orde Baru pada dasarnya juga sama, yaitu “de-politisasi Islam” dan “de-Islamisasi politik”. Contohnya kebijakan Menteri Agama mengirimkan dosen-dosen IAIN (sekarang UIN) untuk menimba ilmu di Barat, seperti ke Kanada, dan Amerika. Munawir Syadzali (Menteri Agama selama dua periode, 1983-1993) pernah menjelaskan bahwa program tersebut (pengiriman dosen ke Barat) bertujuan agar mereka dapat memperluas wawasan keilmuannya dan mempelajari metode kritis dalam mengkaji agama. Namun sebenarnya, hal tersebut dilakukan karena adanya pertimbangan strategis. Maraknya kajian-kajian keislaman di kampus-kampus umum (seperti ITB, UNPAD, IPB, UI, dan UGM) cukup merisaukan pemerintah. Dikhawatirkan kelompok-kelompok pengajian mahasiswa akan melahirkan sikap fanatik, fundamentalitas dan radikal serta komitmen pada cita-cita politik Islam. Salah satu strategi untuk mengatasinya adalah dengan menumbuh-kembangkan sikap moderat dan liberal di kalangan mahasiswa dan akademisi yang menekuni studi Islam, terutama di kampus-kampus IAIN. Munawir juga menggagas apa  yang ia sebut sebagai “aktualisasi” dan “kontekstualisasi” ajaran Islam seraya menolak konsep negara Islam.

Sekularisasi pendidikan di Indonesia, bahkan terasa semakin marak dilakukan secara masif, khususnya setelah Indonesia memiliki Presiden yang bergelar Kyai sekalipun, yaitu Gus Dur. Bukannya memasukkan nilai-nilai Islam dan kultur pesantren ke dalam kehidupan, eh malahan semakin giat mensekulerkan masya-rakat. Tidak aneh bila akhirnya banyak institusi pendidikan di Indonesia dicap hanya akan melahirkan generasi SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme).

Oleh karena itu, sudah saatnya bahkan sebuah keharusan bagi kita semua untuk mulai berbenah dan berjuang sekuat tenaga untuk melakukan “Islamisasi pendidikan” dan menghadang sekulerisme, bukan “sekularisasi pendidikan”!