Sejarah Awal Munculnya Penyimpangan Akidah Sesat


Munculnya bid’ah tidaklah terjadi sekaligus, dan tidak pula di satu zaman tertentu, tetapi terjadi dalam beberapa marhalah (fase) dan tempat yang berjauhan, setidak-tidaknya ada 5 marhalah sejarah munculnya bid’ah.
Sampai pada tahun 37 hijriyah sejak hijrahnya Nabi bisa dikatakan bahwa marhalah ini (marhalah I) adalah marhalah keemasan di dalam umat Islam, ini adalah marhalah salimah yang tidak muncul satu bid’ah pun. Sehingga marhalah ini benar-benar menjadi qudwah bagi umat Islam seluruhnya dan dari sini lah Ahlussunnah mengambil sumber utamanya yaitu sumber dari Nabi dan para sahabatnya, dimana Alloh telah memilih dan mencatat mereka dalam kitab Taurat dan Injil sebelum mereka lahir, bahwa mereka akan mendampingi nabi Muhammad .
Inilah masa keemasan dimana jika semua orang ingin kembali kepada ajaran yang benar maka kembalilah kepada masa-masa ini. Walaupun tazkiyah Nabi tentang qurun terbaik sampai kepada qurun ketiga, namun yang dimaksud di sini adalah masa yang paling lurus. Marhalah selanjutnya juga menjadi pijakan, namun karena telah mulai terjadi penyimpangan maka kembalinya setelah marhalah ini adalah kepada pemahaman mayoriti ketika itu, karena penyimpangan masih terhitung minoritas.
Kemudian marhalah yang kedua, yaitu masa tahun ke 37 hijriyah hingga tahun ke 100 hijriyah. Pada marhalah ini, di saat masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib muncullah gembong bid’ah yang petama, dikarenakan efek konflik politik yang muncul dengan terbunuhnya Utsman bin Affan .
Pada masa ini terjadilah perbedaan ijtihad antara sahabat Nabi , sehingga muncullah peperangan antara dua belah pihak yaitu Ali bin Abi Thalib dan para pendukungnya berhadapan dengan Muawiyah dan para pendukungnya. Lalu terjadilah perdamaian antara kedua kubu tersebut. Namun justru dari titik-titik perdamaian ini muncul suatu golongan firqoh dlollah (aliran sesat) yang pertama yakni munculnya golongan Khowarij, yang disusul oleh golongan Syi’ah.
Golongan Khowarij adalah golongan yang mengkafirkan kedua kubu sahabat Nabi yang melakukan perdamaian. Sedangkan golongan Syi’ah adalah orang-orang yang menolong Ali bin Abi Thalib dan mengokohkannya. Walaupun pada akhirnya mereka berkhianat.
Selain kedua golongan tadi, pada marhalah ini juga muncul bid’ah yang lain yaitu Qodariyah kemudian di susul dengan Murji’ah.
Munculnya Khowarij bertepatan dengan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib pada tahun 37 hijriyah yaitu ketika Ali bin Abi Thalib dan pendukungnya menerima tahkim dengan Muawiyah dan para pendukungnya dimana mereka masing-masing mengutus utusannya. Di pihak Ali bin Abi Thalib diutuslah Abu Musa al Asy’ari sedang di pihak Muawiyah diutuslah Amr bin al Ash . Di tengah-tengah kejadian ini muncullah dikalangan pendukung Ali bin Abi Thalib , orang-orang yang tidak menyetujui tahkim dengan perwakilan seperti itu dan mereka menyatakan bahwa, dengan melakukan demikian Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah berhukum kepada manusia dan bukan berhukum kepada Alloh . Kemudian mereka mendatangi Ali bin Abi Thalib dan menyerunya untuk bertobat. Mereka mengatakan bahwa mereka ketika itu telah kafir namun mereka telah bertobat kepada Alloh dan menyeru Ali bin Abi Thalib untuk bertobat dari perbuatannya.
Mereka memiliki landasan berpijak dari al Qur’an, namun pijakan yang mereka jadikan sebagai dalil dalam pemahamannya salah, yaitu ketika mereka membaca ayat al Qur’an surat al Maidah ayat 44:

”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Kemudian mereka juga mengungkapkan ayat di dalam surat al Hujurat ketika dua golongan saling bertentangan maka harus diperangi golongan yang dzolim di antara mereka. Alloh berfirman yang artinya, “Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Alloh.” (QS. Al Hujurat: 9). Dengan ayat di atas mereka berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib telah melanggar hukum Alloh ,dan harus diperangi. Maka jika tidak bertobat hukumnya menjadi kafir. Menurut pandangan mereka Ali bin Abi Thalib telah berhakim kepada manusia ketika mengutus Abu Musa al Asy’ari sedang di pihak Muawiyah mengutus Amr bin al Ash . Padahal Ali bin Abi Thalib telah memberi penjelasan kepada mereka untuk menghilangkan syubhat yang ada dalam memahami tahkim. Bahwa sesungguhnya ketika seseorang berhukum kepada Alloh bukan berarti langsung bertanya kepada al Qur’an tapi harus ada orang yang menyelenggarakan. Sebagaimana Alloh terangkan dalam surat an Nisa ayat 35, tentang konflik dua pihak antara suami dan istri, Alloh memberikan ketentuannya, yakni agar diutuslah hakim di antara dua pihak yaitu pihak suami dan istri.
Hal ini seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib dengan mengutus Abu Musa al-Asy’ari serta Muawiyah dengan mengutus Amr bin Ash . Namun penjelasan ini tidak diterima oleh orang-orang Khowarij, mereka tetap terus dengan prinsip batilnya, dengan tetap mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan memeranginya. Bahkan lebih jauh lagi, orang-orang Khowarij juga mengkafirkan pelaku dosa besar. Karena kesalahan di dalam mengambil pemahaman dalil-dalil al Qur’an bahwa makna “” ini mengandung pengertian, baik kafir kecil maupun kafir besar, sedangkan mereka mengklaim bahwa ayat tersebut adalah total kafir besar dan semua ayat-ayat yang menyatakan kekufuran ini adalah kufur besar tanpa melihat qorinah-qorinah yang memalingkan dari kafir besar sehingga semua kalimat-kalimat itu tidak dibedakan dan dipukul rata maknanya.
Inilah dasar pemikiran sesat yang tumbuh pada sebagian kaum muslimin dimana hal ini terus berlanjut hingga saat ini. Sehingga masih ada orang yang ketika menemukan kata-kata kufur, langsung ditafsirkan sebagai kufur akbar yang mengeluarkan seseorang dari Islam dan otomatis pelakunya akan langsung kafir. Ini adalah pemikiran yang sangat berbahaya sekali.
Khowarij ini termasuk pokok pangkal golongan bid’ah yang menitis pada golongan-golongan lain berikutnya bahkan dalam perkembangannya berkembang prinsip-prinsip yang lain yang tidak hanya sekedar pengkafiran dalam hal siyasah.
Lalu yang berikutnya adalah Syi’ah. Kalimat Syi’ah dalam bahasa Arab at-tasyayu’ memiliki pengertian sangat umum yakni bermakna suatu dukungan atau pertolongan. Sehingga pada waktu itu dikenal dengan Syi’ah Ali bin Abi Thalib dan Syi’ah Muawiyah . Dan belum muncul sebagai firqoh dlollah (pemahaman sesat) hanya baru bersifat lughowi (bahasa) saja maka disebut Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyah yang berarti pendukung Ali dan Muawiyah .
Dalam Syi’ah Ali ini pun masih bersifat lurus ketika itu. Hanya ada sebagian para sahabat berbeda pendapat tentang kemuliaan Ali dan Utsman , siapakah diantara mereka yang lebih mulia kedudukannya setelah Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar bin al Khattab . Permasalahan ini menjadi dua blok yaitu mereka yang mendahulukan Ali dan yang mendahulukan Utsman , dimana mereka tidak berbeda pendapat untuk mendahulukan Abu Bakar dan Umar . Walaupun demikian, perbedaan pendapat ini tidak menimbulkan caci maki di antara kedua belah pihak.
Kemudian terjadilah perbedaan antara para sahabat tentang bagaimana menghukum pembunuh Utsman bin Affan . Sehingga singkatnya terjadi pertikaian antara pendukung Utsman bin Affan yang diwakili oleh Muawiyah dan para pendukungnya dengan Ali bin Abi Thalib dan pendukungnya. Sampai perkara ini terjadi belum ada kelompok Khowarij maupun Syi’ah.
Ketika Khowarij muncul, maka muncul pulalah Syi’ah sebagai lawan Khowarij. Dimana Khowarij mengkafirkan Ali bin Abi Thalib kemudian muncullah Syi’ah sebagai pendukung Ali bin Abi Thalib . Sebagaimana kita katakan tadi bahwa Syi’ah Ali pada waktu itu belum sampai pada derajat firqoh. Kemudian muncullah pemahaman Abdulloh bin Saba yang masuk Islam pada masa kekhalifahan Utsman dan membawa pemahaman yang dinukil di dalam kitab Taurat bahwa semua nabi memiliki wasiat dan Ali adalah wasiat Nabi Muhammad . Pemahaman ini disebarkan dengan gencar oleh Abdulloh bin Saba.
Jika kita lihat prinsip dasar pemikiran ini, maka pemikiran ini menjurus pada masalah kekhilafahan bahwa kekhilafahan Ali bin Abi Thalib adalah merupakan wasiat sebagaimana para nabi memiliki wasiat dan hal ini belum sampai pada pemikiran sesat yang lebih akut.
Kemudian pemikiran ini diserap oleh sebagian golongan pendukung (Syi’ah) Ali dimana mereka sebelumnya masih bersifat umum dan lurus dalam pemikirannya, karena kata Syi’ah disini masih bermakna umum yakni bermakna pendukung.
Kemudian Abdulloh bin Saba memunculkan kembali bibit-bibit pemikiran baru yangi lebih dahsyat dari sebelumnya. Yaitu bahwa wasiat keimamahan yang di wasiatkan kepada Ali dari Rosululloh ini benar-benar ter-nashkan padahal hal ini adalah dusta belaka. Disinilah mulai munculnya firqoh Syi’ah, dan alhamdulillah tidak ada satu pun sahabat yang terlibat dalam firqoh Syi’ah maupun Khowarij.
Ketika pertama kali muncul, Syi’ah sendiri telah berpecah dan dalam waktu yang cepat menjadi banyak sekali pemikiran-pemikiran. Bahkan hingga saat ini mereka menjadi golongan yang sangat ekstrim dan melampaui batas, telah keluar dari Islam. Hal ini diperkuat oleh fatwa-fatwa para ulama. Maka jika kita lihat Syi’ah saat ini sungguh sangat jauh berbeda dengan keadaan disaat awal-awal kemunculannya. Walaupun ketika kemunculannya pun sudah berbahaya. Lalu diperparah lagi dengan kepercayaan mereka yang ghuluw (berlebih-lebihan) sampai-sampai mengkultuskan Ali yaitu mengangkat Ali sampai kederajat ilahiyah (sifat ketuhanan).
Dalam perkembangan pemahaman dan pemikiran selanjutnya Syi’ah semakin jauh dari titik awal sumbernya, makin jauh keluar dari Islam, kecuali sedikit saja dari kalangan Syi’ah Zaidiyah. Hingga jika dikatakan lawan dari Sunniy (orang-orang yang komit kepada jalan Nabi ) adalah Syi’ah. Para ulama mengatakan mereka adalah golongan manusia paling dusta dalam kehidupan dunia ini.
Alhamdulillah kita pun telah menerbitkan buku tentang Syi’ah ini, hingga bisa mengkaji lebih jauh dan lebih dalam lagi, tentang bagaimana keadaan Syi’ah sekarang ini.
Demikianlah sejarah singkat munculnya firqoh dlollah pada abad pertama di marhalah kedua yang dimulai saat kekhilafahan Ali bin Abi Thalib dalam sejarah Islam.

Sesi Tanya Jawab
Tanya
Saya pernah berdiskusi dengan beberapa teman tentang berhukum dengan hukum selain Alloh (thoghut), ada pertanyaan, bagaimana dengan seseorang yang ikut berkecimpung dalam parlemen yang mana disitu jelas-jelas berlan-daskan hukum selain hukum Alloh , apakah mereka otomatis menjadi kafir?
Jawab
Perlu kita ketahui bahwa setiap ancaman kufur, tidak serta merta pelakunya menjadi kafir. Indonesia adalah Negara yang bukan berlandaskan hukum Islam dan ini diakui oleh semua orang, bahkan para penguasa sendiri tidak mau dikatakan Indonesia ini negara Islam. Ketika hukum disebuah negara bukan berlandaskan hukum Islam, bukan berarti bahwa semua orang yang ada di negara tersebut atau rakyatnya otomatis menjadi kafir. Hukum umum ketika diberlakukan pada perorangan maka ada yang sampai kepada tingkat kafir dan ada yang belum sampai tingkat kafir. Kita harus berhati-hati, jangan sampai mengatakan si fulan kafir tanpa ada hujah yang jelas. Di sini perlu ada fatwa yang valid dari mujtahid yang kompeten atau Qodhi (hakim) yang sah, mereka inilah yang berwenang menghukum, namun ketika tidak ada, maka hukumnya harus dikembalikan kepada hukum asal yaitu jika dia seorang muslim maka hukumnya sebagai muslim hingga jelas hukumnya dari pihak yang kompeten. Masalah ini juga termasuk hukum orang-orang yang masuk parlemen, dimana mereka terjatuh dalam jenis takwil atau ijtihad yang salah yang harus dianalisa.
Tanya
Apa saja penyebab perselisihan Muawiyah dan Ali ?
Jawab
Terbunuhnya Utsman bin Affan adalah karena persekongkolan. Persekong-kolan ini tidak lain bertujuan untuk menghancurkan Islam. Ketika Utsman terbunuh, maka Ali sebagai khalifah setelahnya sangat kesulitan untuk melakukan qishosh terhadap para pembunuh Utsman karena jumlahnya yang begitu banyak bahkan dikatakan sampai ribuan orang. Namun tidak sedikit pun Ali dengan sengaja melepaskan qishosh terhadap mereka, hanya saja keadaan yang sulit dan tidak memungkinkan untuk melaksana-kannya. Sedangkan disisi lain, Muawiyah ingin menuntut darah Utsman yang tertumpah karena ia masih bagian dari keluarganya. Dan tiada jalan lain bagi Muawiyah selain mendesak Ali sebagai khalifah pada saat itu untuk menegakkan qishosh terhadap para pembunuh Utsman . Jadi inilah yang menjadikan perbedaan pendapat dan ijtihad dari keduanya hingga menyeret pada pertikaian. Namun harus kita pahami bahwa keduanya ada dalam kebenaran, hanya Ali lebih dekat kepada kebenaran. Dan kita hendaknya tidak masuk dalam problem mereka. Apa yang kita baca dalam teks sejarah sangat minim untuk dapat mengetahui hakikatnya. Kita harus menempatkan mereka pada posisi yang mulia jangan sampai menuduh dengan tuduhan bathil karena mereka adalah para sahabat Nabi yang mulia yang memiliki kapasitas sebagai mujtahid. Walaupun sampai terjadi peperangan, namun sikap-sikap mereka (jika kita pelajari) di dalam peperangan dalam mempertahankan ijtihadnya sangat indah, mereka saling hormat dan lain-lain.

Tinggalkan komentar