Paku Payung Hukum Indonesia


Prita Mulyasari, sepetinya nama ini sudah sangat akrab sekali di telinga warga indonesia saat ini. Padahal dia bukanlah seorang artis ternama, tokoh politik atau semacamnya yang memiliki penggemar (baca: fans) yang sangat simpatik padanya. Namun apa yang dideritanya telah membuat mata hati rakyat indonesia terbuka lagi lebih lebar. Hingga bukan hanya para aktivis LSM saja yang bahu-membahu membantu beban yang diderita olehnya. Bahkan sampai tukang becak dan anak-anak TK pun tak mau ketinggalan mengumpulkan keping-keping koin untuk membantunya.

Kasus Prita bagaikan sumbu penyulut api yang mulai membakar rasa pratiotisme rakyat yang sudah jemu dengan bentuk pengadilan hukum di indonesia ini. Pada saat yang tidak jauh berbeda beberapa kasus pun mulai disingkap media massa dengan tipe atau model penegakkan hukum yang hampir sama.

Mungkin anda pernah mendengar kasus Mbok Minah dengan tiga buah kakaonya atau kisah yang nyaris sama menimpa Klijo (76), warga Jering, Kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta dengan setandan pisang klutuknya atau Basar dan Kholik dua warga Bujel, Kediri yang kedapatan memetik sebuah semangka walau belum sempat menikmatinya atau mungkin Parto, warga desa Pranti, Situbondo, Jawa Timur gara-gara mencuri lima batang pohon jagung dia terancam lima tahun penjara. Sebenarnya mencuri memang tetap saja mencuri jika itu terbukti benar namun yang kita bicarakan disini bukan hal itu. Namun fenomena penegakkan hukum yang sangat timpang yang terjadi di negeri ini.

Kasus-kasus diatas yang menimpa warga miskin umumnya diproses secara cepat kemudian selalu dikaitkan dengan koruptor dan dengan kejahatan skala besar lainnya yang seakan kebal hukum daengan proses hukumnya yang kadang berbelit-belit. Alhasil ka-limat diskriminasi hukum pun meluncur sebagai kesimpulannya.

Mencuri memang tidak dibenarkan oleh hukum manapun, walaupun bagaimanapun alasannya, mencuri tetap mencuri dan harus dihukum. Tetapi dimanakah para pencuri uang rak-yat yang jumlahnya milyaran bahkan triliunan rupiah itu, mereka mungkin sampai saat ini masih bebas berkeliaran sambil menikmati hasil curiannya itu! Sebagai akibat dari kesewang-wenangan sebagian orang yang melahap harta negara itu timbullah kemiskinan yang diakibatkan keserakahan para koruptor. Yang notabene jika mereka tertangkap korupsi pun bisa menebus hukumannya dengan mudah dari hasil korupsinya. Dengan perkiraan berat hukuman yang sama dengan para pencuri miskin itu yang tak mampu menebus dirinya walau sepeser pun.

Kongres Advokat Indonesia menilai penegakan hukum sepanjang tahun 2009 masih cenderung tajam ke bawah, tumpul ke atas. Hukum cenderung tidak berpihak kepada yang lemah.

Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kasus hukum yang mencuat di sepanjang tahun 2009 ini. Seperti fakta bahwa Anggodo belum ditahan hingga saat ini dan putusan terhadap jaksa Ester Tanak dan Jaksa Dara yang lunak dibandingkan dengan perkara nenek Minah dan putusan perdata perkara Prita Mulyasari dengan rumah sakit Omni International.

Meski demikian, ujar Wakil Presiden KAI Todung Mulya Lubis dalam rilis Selasa 29 Desember lalu, terdapat pula hikmah dari sejumlah peristiwa seperti kasus Prita Mulyasari yakni mengangkat derasnya partisipasi publik dalam masalah penegakan hukum. “Barangkali belum pernah ada partisipasi publik dan kesadaran publik akan suatu masalah penegakan hukum yang sedemikian luas dan antusias dalam sejarah,” ujarnya.

Selain itu, program pemberantasan mafia hukum sebagai program pertama dari program 100 hari SBY – Boediono pun masih belum terasa gigitannya sampai sekarang. Program itu cenderung mengkonfirmasi pendapat bahwa itu bagian dari lips service (penghias bibir) saat kampanye belaka tanpa adanya goodwill yang sungguh-sungguh di baliknya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkesan lepas tangan dalam masalah-masalah besar penegakan hukum dengan alasan tidak mau mengintervensi proses hukum. Terkesan bahwa dalam pemahaman presiden, arti penegakan hukum seakan-akan direduksi menjadi hanya sesempit criminal justice system (sistem peradilan criminal/pidana) belaka. Padahal ada banyak hal yang dapat dilakukan Presiden dalam memajukan penegakan hukum di luar criminal justice system.

Seperti dalam perkara pimpinan KPK. Aroma rekayasa dari no case (tidak ada kasus) menjadi some case (adanya kasus) amat kental terasa. Tim 8 verifikasi perkara ini menemukan tidak adanya bukti yang dimiliki kepoli-sian dan kejaksaan dalam perkara ini.

Tetapi hingga kini belum ada tindakan penegakan hukum yang tegas terhadap mereka yang terlibat dalam atau harus bertanggung jawab atas timbulnya perkara ini, selain sanksi administratif berupa pemberhentian seorang petinggi polisi dan pengunduran diri seorang petinggi kejaksaan. Demikian dikutip vivanews.

Itulah sedikit gambaran hukum dinegeri kita ini, adanya Mafia Kasus ataupun mafia hukum yang lainnya, yang bisa saja mengatur bagaimana proses hukum itu berlangsung dan itu tidak bisa di pungkiri sedang marak di negeri kita ini. Akan jadi apa negeri kita ini bila hal tersebut berlangsung terus? Kita tunggu saja bagaimana kelanjutan fenomena ini!

Tinggalkan komentar